Asus
Kepala Daerah Terpilih Tidak Boleh lagi Mengangkat Staf Khusus dan Tenaga Ahli

KLIK SULUT - Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Prof Zudan Arif Fakrulloh menegaskan, kepala daerah terpilih tidak boleh lagi mengangkat staf khusus dan tenaga ahli setelah dilantik. Jika melanggar, maka akan ada sanksi tegas yang diberlakukan.

Hal tersebut disampaikan Zudan saat melakukan rapat evaluasi seleksi CPNS dan PPPK bersama Komisi II DPR RI, Rabu (5/2).

“Untuk kepala daerah terpilih tidak boleh mengangkat lagi pegawai. Akan ada sanksi tegas dari pemerintah pusat bila ada gubernur, bupati atau wali kota terpilih mengangkat pegawai lagi. Tidak dibolehkan,” tegasnya.

Mantan Penjabat Gubernur Sulsel itu menjelaskan, jumlah pegawai yang ada saat ini sudah terlalu banyak, terutama tenaga administrasi. Sementara kemampuan anggaran daerah sangat terbatas.

Untuk tenaga ahli, kata Zudan, sudah ada pegawai keahlian yang ditempatkan di tiap organisasi perangkat daerah.

Namun, pegawai terus diangkat hanya untuk mengakomodir kepentingan politik kepala daerah.

“Tidak boleh hanya untuk mengakomodir kepentingan- kepentingan. Banyak sekali dalam pengangkatan PPPK ini argumentasinya tidak ada dana, tidak ada anggaran, lah kok malah ngangkat lagi tenaga ahli, staf khusus, tim pakar,” bebernya.

Dari data BKN RI, jumlah tenaga non ASN aktif atau honorer saat ini adalah 1.789.051 orang. Yang dinyatakan lulus PPPK 2024 tahap pertama mencapai 668.452 orang.

Sementara, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat pada tahap pertama akan dialihkan pada seleksi tahap kedua sebanyak 207.459 orang.

Zudan menambahkan, jika kepala daerah ingin menambah pegawai, maka wajib melalui jalur CPNS. Tidak boleh lagi asal mengangkat.

“CPNS akan kita buka lagi baik untuk S1, S2 maupun S3. Akan kita siapkan, termasuk untuk kebutuhan dokter spesialis. Tapi tidak boleh stafsus, pakar atau tenaga ahli,” terangnya.

Sementara, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, menyebut bahwa jumlah honorer terus bertambah. Karena kepala daerah lebih memilih mempekerjakan honorer dibanding CPNS.

Gaji yang lebih rendah dan kontrak kerja bisa diputus kapan saja jadi alasannya.

“Sampai sekarang ini yang jadi masalah karena kita belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah tenaga honorer yang ada di seluruh Indonesia. Datanya selalu berubah karena ada peluang masih bisa dibuka, ya dibuka lagi. Kasihan, lama-lama gitu,” jelasnya.

Ia menegaskan, DPR RI dan pemerintah pusat sepakat agar mulai tahun 2025 tidak boleh lagi ada pengangkatan honorer. Jumlah yang ada saat ini akan dimanfaatkan sesuai dengan ketersediaan anggaran.

Jadi perlu ada aturan ketat dan komitmen dari kepala daerah untuk menyelesaikan baik PPPK penuh waktu dan paruh waktu,” ucap legislator partai Golkar itu. (*/red)

Berita Terkait

TInggalkan Komentar